Memang sudah menjadi tantangan seorang jurnalis. Semua berita pasti ada dampak baik dan buruknya. Kadang malah banyak dampak buruk ketimbang baiknya dan melibatkan keluarga. Misal jika ada ancaman dari orang tak dikenal, pasti keluarga kita juga ikut ketakutan. Seperti yang saya alami ketika bertugas menjadi wartawan Equator di Kabupaten Sekadau 2007 silam.
Waktu itu ada kawan yang menghubungi saya, dia mengatakan ada orang mau masukan berita. Dia adalah seorang mahasiswa Untan Pontianak asal Kecamatan Nanga Taman Kabupaten Sekadau. Dia mengaku ketika pulang kampung merasa terkejut karena di tanah kelahiranya marak perjudian secara terang-terangan. Tepatnya saat menyambut peringatan 17 Agustus 2007. mungkin sudah menjadi tradisi warga setempat. Tapi si mahasiwa itu tak terima kampung halamannya menjadi arena judi yang ditonton oleh para aparat dan pejabat pemerintah kecamatan bahkan tokoh agama setempat seakan tak bisa berbuat apa-apa.
Maka mahasiswa itu nekat mencari wartawan untuk memasukan berita judi itu. Maka ketemulah dengan saya, di warung kopi komplek terminal lawang kuari. Dia terus terang merasa prihatin melihat di kampung halamannya marak perjudian saat menyambut hari kemerdekaan RI. Maka menyuruh saya agar dimasukan ke dalam berita. Tapi mahasiswa itu tak mau disebut nama sebagai nara sumber. Mungkin dia agak tak enak dengan orang-orang di kampungnya itu. Jadi saya juga mengerti dan kewajiban kita selaku seorang jurnalis untuk merahasikan identitas nara sumber jika itu dikehendaki.
Maka, berita yang disampaikan si mahasiswa itu saya tulis dengan apa adanya. Untuk membalancekan berita, saya berusaha konfirmasi dengan Camat Nanga Taman, dimana selaku kepala wilayah di daerah setempat. Karena berdasarkan informasi judi 17 Agustus itu dikelola dengan sistem kepanitian. Tapi sangat disayangkan ketika kita konfirmasi si camat itu terkesan menghindar.
Tak apa, yang penting saya sudah konfirmasi untuk menanyakan kondisi yang ada di lapangan. Setelah saya ketik langsung ke warnet, maklum belum ada kantor biro di Sekadau sehingga masih numpang di rental untuk mengetik dan kirim berita via email ke redaksi. Nah pagi harinya koran terbit dan berita judi di halaman patroli. Saya tidak tahu, apakah koran di pasaran laku banyak atau tidak. Yang jelas koran saat itu belum masuk di Kecamatan Nanga Taman.
Namun, rupanya berita tersebut berdampak ketika malam tiba. Handphon saya berdering bunyi SMS. Saya bukan sangat terkejut karena isinya sebuah ancaman dan teror yang ditujukan kepada saya dan keluarga. Jumlah SMS lumayan banyak mencapai puluhan dengan nomor yang berbeda. Tidak saya layani, malah saya matikan malam itu. Memang di hati saya ada sedikit rasa ketakutan. karena saya berfikir, jika terjadi sesuatu saya kasian dengan keluarga saya baik istri dan mertua dan ipar saya.
Sampai pagi hari, saya buka Hp dan kita aktifkan rupanya SMS masuk makin menjadi dan isinya semua teror. Seingat saja ada salah satu bunyi SMS: “Sekarang judi sudah bubar, sekarang gantian Equator membayar kami Rp.10 juta”. Melihat banyak SMS teror masuk, untuk sementara HP saya selama satu Minggu tidak saya aktifkan. Dan menggunakan kartu lain. Sampai-sampai Redaktur Pelaksana saya bernama Mutadi waktu itu sempat marah, karena ketika menghubungi tidak masuk-masuk. “Mantap bos kita nich, HP tak pernah aktif’ itulah kata Redpel saya ketika marahin saya. Maka saya jelaskan mengapa HP saya sengaja tidak aktif.
Lucunya, puluhan SMS teror itu saya pindah di catatan kertas kecil. Saya simpan dan saya beritahukan kawan-kawan. Tapi semua itu rupanya hanya sebuah teror saja dan Alhamdulillah tidak ada terjadi apa-apa terhadap dirinya saya. Saya waktu itu hanya berfikir, jika memang para penjudi itu mencari saya dan melakukan tindakan yang tidak kita inginkan. Apakah orang lain tidak akan membantu saya. Apakah orang yang ada di Sekadau akan mendukung judi? Pastinya tidak kan, maka saya mendapat ancaman teror tersebut tidak takut. Paling hanya waspada saja. Demikian sedikit kisah nyata yang pernah saya alami saat bertigas di Sekadau. (*)